Jakarta, 25 Juni 2025 – Kabar gembira datang dari sektor kesehatan Indonesia. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka prevalensi stunting nasional berhasil mengalami penurunan signifikan, dari 21,5% pada tahun 2023 menjadi 19,8% pada tahun 2024, sekaligus melampaui target penurunan stunting untuk tahun 2024 yang dipatok sebesar 20,1%. Pencapaian ini merupakan langkah maju yang patut diapresiasi dalam upaya mewujudkan generasi Indonesia yang lebih sehat dan berkualitas.
Penurunan prevalensi stunting sebesar 1,7% ini bukan hanya sekadar angka, melainkan cerminan dari kerja keras dan kolaborasi berbagai pihak. Pemerintah, melalui kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, hingga peran aktif masyarakat, telah bahu-membahu menjalankan berbagai program intervensi untuk mengatasi masalah gizi kronis ini.
Apa Itu Stunting dan Mengapa Penting untuk Dicegah?
Stunting adalah kondisi tumbuh kembang yang gagal pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, terutama dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu sejak anak dalam kandungan hingga berusia dua tahun. Kondisi ini menyebabkan tinggi badan anak lebih pendek dari standar usianya. Dampak stunting tidak hanya terbatas pada fisik, tetapi juga memengaruhi perkembangan kognitif, motorik, dan sistem kekebalan tubuh anak, yang pada gilirannya dapat menghambat produktivitas di masa dewasa.
Faktor Penyebab Stunting dan Upaya Penanganannya
Stunting umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, meliputi:
- Asupan Gizi yang Kurang: Terutama pada ibu hamil dan balita.
- Praktik Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) yang Tidak Optimal: Seperti pemberian ASI eksklusif yang tidak memadai atau MPASI yang kurang berkualitas.
- Sanitasi dan Kebersihan Lingkungan yang Buruk: Meningkatkan risiko infeksi yang dapat menghambat penyerapan nutrisi.
- Akses Terhadap Pelayanan Kesehatan yang Minim: Terutama untuk pemeriksaan kehamilan dan pemantauan tumbuh kembang anak.
Untuk mengatasi kompleksitas penyebab stunting, pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai strategi dan program terpadu. Di antaranya adalah pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) bagi remaja putri dan ibu hamil, pengadaan alat USG di Puskesmas untuk memantau perkembangan janin sejak dini, serta sosialisasi mengenai pentingnya gizi seimbang, pemberian ASI eksklusif, dan MPASI yang tepat. Selain itu, ada juga skrining kesehatan rutin, pendampingan bagi keluarga berisiko stunting, dan berbagai program lainnya.
Keberhasilan penurunan angka stunting tidak hanya bergantung pada campur tangan pemerintah, tetapi juga peran penting teknologi dan kolaborasi multi-pihak. Deteksi dini dan pemantauan tumbuh kembang anak secara akurat adalah kunci utama pencegahan stunting. Seperti yang telah disebutkan, 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) merupakan periode penting untuk memantau tumbuh kembang anak. Pada fase ini, pengukuran tinggi dan berat badan anak secara berkala menggunakan alat antropometri dapat mengidentifikasi risiko stunting sejak dini dan memantau efektivitas intervensi. Secara umum, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan jadwal pemantauan tumbuh kembang anak sebagai berikut:
Usia lahir sampai 12 bulan: Setiap 1 bulan
Usia 12 bulan sampai 3 tahun: Setiap 3 bulan
Usia 3 tahun sampai 6 tahun: Setiap 6 bulan
Dengan pemantauan rutin ini, diharapkan masalah stunting dapat dicegah atau ditangani sesegera mungkin. Semakin cepat masalah teridentifikasi, semakin besar peluang untuk melakukan penyesuaian atau tindakan yang dapat meminimalkan dampak negatifnya. Meskipun capaian penurunan prevalensi stunting di tahun 2024 patut disyukuri, tantangan ke depan masih besar. Target pemerintah adalah menurunkan angka stunting hingga 18,8% pada tahun 2025 dan 5% pada tahun 2045. Hal ini memerlukan upaya lebih keras dan konsisten, terutama di enam provinsi dengan jumlah balita stunting terbesar. Dengan kolaborasi yang solid dan strategi yang adaptif, harapan untuk mewujudkan Indonesia bebas stunting di masa depan semakin terbuka lebar.